Rabu, 16 November 2016

MAKALAH SOSIOLOGI KEHUTANAN
HAK MASYARAKAT ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN DAN SUMBER DAYA HUTAN

Oleh :

LA ODE ZAINAL ABIDIN RZ
D1 B5 05 076

JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2011

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan yang memiliki 17.000-an pulau, Indonesia juga dikenal sebagai negara "mega-biodiversity" dengan 47 tipe ekosistem utama dan juga dikenal sebagai negara "mega cultural diversity" yang memiliki lebih dari 250 kelompok etnis dengan lebih dari 500 bahasa yang berbeda.
Keberadaan keanekaragaman hayati dan budaya ini bertumpu pada keberadaan masyarakat adat yang hidup dan tersebar di seluruh pelosok nusantara. AMAN memperkirakan bahwa dari sekitar 210 juta penduduk Indonesia, antara 50 sampai 70 juta diantaranya adalah masyarakat adat, yaitu "penduduk yang hidup dalam satuan-satuan komunitas berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya" (KMAN 1999).
Pengelolaan hutan di Indonesia sampai saat ini belum menunjukan kejelasan tentang hak kepemilikan (property right) atas lahan hutan. Hal ini telah menimbulkan implikasi yang kompleks. Di berbagai tempat terjadi persoalan saling klaim terhadap lahan hutan yang sama; konflik vertikal antara masyarakat dengan perusahaan HPH/IUPHHK, bahkan konflik horisontal antar masyarakat pun dapat dipicu oleh persoalan hak-hak atas hutan.
Diberbagai tempat di Indonesia berlaku hukum adat, antara lain tentang pembukaan hutan untuk usaha perladangan dan pertanian lainnya, penggembalaan
ternak, pemburuan satwa liar dan pemungutan hasil hutan, serta diberbagai areal hutan dikelola secara lestari oleh masyarakat hukum adat sebagai sumber kehidupannya dengan segala kearifannya. Praktek tersebut menunjukan bahwa masyarakat adat telah dan mampu mengelola sumber daya alam termasuk hutannya secara turun-temurun. Pola-pola ini diketahui memiliki sistem yang sangat terkait dengan pengelolaan hutan alam, hutan tanaman, kebun dan usaha pertanian sehingga bentuknya sangat beragam, dinamis, terpadu yang menghasilkan berbagai manfaat bagi masyarakat dan lingkungan, baik secara ekonomi, sosial budaya, religi, dan ekologi (Suhardjito, Khan, Djatmiko dkk).
B. Tujuan
Tujuan dari makalah ini yaitu :
1. Mengetahui peranan masyarakat adat terhadap pengelolaan hutan dan SDH serta Mengetahui Keberadaan wilayah masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia.
2. Mempelajari beberapa studi kasus yang terjadi antar masyarakat adat terhadap kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan dan sumber daya hutan.
3. Makalah ini mencoba untuk mengkaji karakteristik dari perundang-undangan yang digunakan sebagai instrumen hukum terhadap peranan masyarakat adat dalam pengelolaan SDH.

II. PEMBAHASAN
Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya pasal 37 ayat 5 bahwa pemanfaatan hutan adat adalah segala bentuk usaha yang menggunakan hutan adat untuk dimanfaatkan secara optimal. Hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya. Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. UU No. 41/99 menggambarkan masih kuatnya keinginan pemerintah dalam hal ini Dephutbun untuk tetap mempertahankan kontrol dan penguasaan terhadap kawasan hutan dan sumberdaya hutan, sekalipun kontrol dan penguasaan tersebut selama ini telah mengakibatkan menurunnya kuantitas dan kualitas hutan serta terjadinya konflik-konflik di lapangan antara pemerintah maupun pengusaha di satu pihak dengan rakyat di pihak yang lainnya.
Sedangkan Masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merumuskan masyarakat adat sebagai suatu komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi politik, budaya dan sosial yang khas. Dalam teori ekologi-manusia, hubungan manusia dengan lingkungannya (sumber daya alamnya) dijelaskan oleh Merchant (1996) sebagai suatu hubungan yang terbagi atas tiga paradigma yang mempunyai dasar pemikiran yang berbeda-beda.
Masyarakat adat merupakan suatu kesatuan masyarakat adat yang bersifat otonom dimana mereka mengatur sistem kehidupannya (hukum, politik, ekonomi dsb) dan selain itu bersifat otohton yaitu suatu kesatuan masyarakat adat yang lahir/dibentuk oleh masyarakat itu sendiri, bukan dibentuk oleh kekuatan lain misal kesatuan desa dengan LKMDnya. Kehidupan komunitas-komunitas masyarakat adat kini tidak sepenuhnya otonom dan terlepas dari proses pengintegrasian ke dalam kesatuan organisasi kehidupan negara bangsa yang berskala besar dan berformat nasional (Wignyosoebroto, 1999).
Hutan adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Pada umumnya komunitas-komunitas masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni di antara kedua komponen ekosistem tersebut. Hukum adat dan sistem kepercayaan asli tentang hutan merupakan pranata sosial yang paling penting bagi masyarakat untuk mengamankan sumberdaya di dalam kawasan hutan adat dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh pihak-pihak dari luar.
Pranata-pranata adat dalam pengelolaan hutan ini, lewat berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan secara sistematis oleh Rejim Pemerintahan Orde Baru selama lebih dari 3 dasawarsa, sengaja dihancurkan. Sampai awal dekade 1970-an, kearifan adat yang sangat beragam ini masih mendominasi sistem pengelolaan hutan di seluruh pelosok nusantara, khususnya di luar Jawa. Masyarakat adat, yang pada waktu itu belum banyak diintervensi
oleh kebijakan pemerintah yang sifatnya eksploitatif, masih mengelola hutan adatnya dengan otonom untuk menjamin keberlangsungan kehidupan mereka sehari-hari. Hutan terjaga dengan baik, kecuali di Sumatera Utara bagian timur yang sebagian kawasan hutannya telah dikonversi untuk perkebunan skala besar sejak jaman Kolonial Belanda. Perubahan yang sangat drastis baru mulai terjadi di awal 1970-an ketika Rejim Orde Baru yang baru berkuasa mengeluarkan kebijakan penebangan hutan komersial dengan sistem konsesi HPH.
Sampai bulan Juli 2000 DEPHUTBUN mencatat ada 652 HPH dengan luas keseluruhan areal konsesi 69,4 juta hektar. Sebagian besar dari kawasan hutan yang dikonsesikan oleh pemerintah kepada perusahaan swasta dan BUMN ini berada di dalam wilayah-wilayah adat. Pelaksanaan sistem konsesi HPH ini merupakan tindakan perampasan terhadap hak-hak masyarakat adat atas hutan yang berada di wilayah adatnya. Berdasarkan penafsiran citra landsat HPH periode April 1997 s.d Januari 2000, dari 320 HPH aktif yang luas areal konsesi keseluruhannya 41,2 juta ha diidentifikasi bahwa 28% (11,7 juta ha) hutannya sudah rusak atau menjadi tanah kosong atau lahan pertanian. Dengan kondisi yang demikian bisa dipastikan bahwa penebangan kayu secara besar-besaran telah merusak hutan adat sebagai jantung kehidupan sebagian besar masyarakat adat penghuni hutan di nusantara. Hasil pemetaan hutan yang dilakukan oleh pemerintah dengan bantuan dari Bank Dunia (1999) menunjukkan bahwa laju deforestasi selama periode 1986 - 1997 sekitar 1,7 juta hektar per tahun. Selama periode itu kerusakan hutan paling parah terjadi di Sumatera dengan kehilangan 30% (hampir 6,7 juta ha) hutannya. Forest Watch Indonesia dan Global Forest
Watch (2002) memperkirakan bahwa jika kecenderungan ini terus berlangsung maka hutan dataran rendah bukan rawa di Sumatera akan punah sebelum tahun 2005, sedangkan hutan Kalimantan diperkirakan mengalami hal yang sama tahun 2010.
A. Penegakan Hukum Adat
Walaupun mengalami tekanan berat, banyak studi yang telah membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain yang berkembang dan berubah secara evolusioner sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Di banyak wilayah adat di pelosok nusantara masih ditemukan kawasan-kawasan hutan adat yang masih alami, bebas dari kegiatan penebangan kayu besar-besaran dan juga bertahan dari berbagai jenis eksploitasi sumberdaya alam lainnya, hanya dengan mengandalkan pengelolaan yang diatur dengan hukum adat. Banyak cerita sukses masyarakat adat dari pelosok nusantara mengusir proyek-proyek pembangunan yang merusak hutan adat. Di Lombok Utara, masyarakat adat melakukan perlawanan keras dan berhasil mengusir HPH PT. Angka Wijaya karena perusahaan ini melakukan penebangan haram di bagian kecil kawasan hutan yang sakral secara adat. Keprihatinan dan solidaritas bersama untuk menyelamatkan hutan adat ini bahkan berhasil menjadi basis pengorganisasian masyarakat adat untuk berjuang bersama mewujudkan otonomi desa adat dengan terbentuknya Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara (PEREKAT OMBARA), bahkan dalam lewat organisasi ini
masyarakat adat sedang mempersiapkan diri untuk menjadi kabupaten sendiri, terpisah dari Kabupaten Lombok Barat.
B. Membangun Organisasi Masyarakat Adat
Perekat Ombara (Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara) adalah sebuah wadah yang dibangun untuk memperkuat solidaritas masyarakat di Lombok Utara. Perekat Ombara dideklarasikan pada gundem (pertemuan) V tokoh-tokoh kepala desa dari 25 desa di Lombok Utara tanggal 9 Desember 1999 di desa Bencingah, kec. Bayan. Berdasarkan hasil gundem Badan Pekerja Perekat Ombara pada tanggal 6 Mei 2000, maka visi Perekat Ombara adalah Membangun tatanan masyarakat yang berdaulat, demokratis dan transformatif, misi Perekat Ombara adalah Memberdayakan masyarakat adat dalam semua aspek pembangunan kekinian. Perekat Ombara adalah sebuah gerakan masyarakat yang berakar kepada persamaan budaya seluruh masyarakat yang ada di Lombok Utara.
Latar belakang terbentuknya Perekat Ombara adalah didasari bahwa peran serta masyarakat dan institusinya adalah sebagai subyek pembangunan. Dengan adanya otonomi pemerintahan desa, seharusnya dijadikan upaya strategis untuk melaksanakan revitalisasi dan reaktualisasi kearifan budaya lokal agar sistem perundang-undangan yang dibuat dapat mengakomodir kepentingan masyarakat.
Kearifan budaya lokal diapresiasikan oleh sebuah komunitas masyarakat yang terikat kuat secara hukum, sosial, budaya dalam bentuk seperangkat aturan-
aturan yang disebut hukum adat, atau yang di Lombok dan Bali disebut awig-awig. Implementasi sistem penguatan institusi masyarakat dan pranata lokal berbasis rakyat dilakukan dengan cara membuka ruang seluas-luasnya untuk merancang pembangunan di tingkat desa secara demokratis dan transparatif.
Demokrasi ala Lombok Utara adalah dengan menggali roh kehidupan masyarakat dalam sistem kepemimpinan kolektif. Kekuasaan tidak tunggal dipegang Kepala Desa tetapi bagian dari kepemimpinan kolektif diantara pemimpin lainnya, yang disebut dengan wet tu telu (wet = wilayah teritorial; tu = orang; telu = tiga) atau masing-masing teritorial (wilayah) punya pemimpin sendiri yaitu : wet agama, wet adat istiadat, dan wet pemerintah. Wet agama dipimpin oleh kiai, bikku atau pedanda sebagai pemegang norma agama, Wet adat istiadat dipimpin oleh seorang mangku (aparat) dengan sub-sub mangkunya, seperti mangkubumi (perairan), mangku alas (lingkungan hutan), dan lain-lain. Para mangku berperan sebagai perumus dan penentu awig-awig, pemberian sanksi adat dan pemimpin acara ritual adat. Wet pemerintahan dipimpin oleh pamusungan (kepala desa, berarti pucuk pimpinan utama). Kepemimpinan wet tu telu pernah dilakukan pada zaman kolonial Belanda dan orde lama sebelum diuniformisasi dengan UU no 5/1974 dan UU no 5/1979 tentang pemerintahan desa.
Dalam tubuh Perekat Ombara tidak saja dihasilkan mengenai kesepakatan, tetapi juga dihasilkan struktur dan pengurus yang bertugas untuk menggerakkan dan mendinamisir Perekat Ombara (juru urus), struktur kepengurusan dilengkapi
dengan Mahkamah Adat yang berfungsi sebagai wadah untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran adat (rat sasak). Revitalisasi majelis krama adat, sebagai aplikasi dari kekuatan trias politica, dilakukan dari krama gubug (tingkat RT dan RW ) hingga krama desa.
Uniknya, seluruh gerakan ini bukan dimulai dari sebuah gagasan besar solidaritas masyarakat adat, namun dari hasil keprihatinan terhadap degradasi lingkungan hutan. Menurut Kamardi, Pamusungan (kepala desa) Bentek dan Ketua Perekat Ombara, masyarakat baru menyadari hutannya rusak oleh aktivitas HPH PT Ongkowidjojo setelah mereka melakukan pemetaan partisipatif pohon keta (sejenis bahan baku lokal untuk pembuatan kerajinan masyakat) di hutan sekitar desa Bentek (Program YLKMP - Yayasan Lembaga Kemanusiaan Masyarakat Pedesaan - yang didukung oleh GEF/SGP). Hutan yang selama ini diakui sebagai bagian dari kesatuan wilayah adat desa diserahkan sebagai areal konsesi. Sejak mulai beroperasi pada tahun 1982, ternyata bencana ekologis terjadi di wilayah ini. Karena lokasi HPH terletak di kawasan pegunungan maka areal di wilayahnya mengalami kesulitan air pada musim kemarau dan kebanjiran pada musim hujan. Di kawasan hutan Sekotong petilasan Kedaru yang dikeramatkan (berbentuk tinggalan menhir) dan makam Bebekeq, di kawasan hutan Sesaot, yang amat dikeramatkan masuk ke dalam areal konsesi. Akumulasi ketidakpuasan masyarakat pecah pada saat terjadi peristiwa pembakaran camp HPH pada bulan April 1999.
Keprihatinan ini menyebabkan beberapa tokoh kepala desa yang memiliki kasus serupa untuk bertemu untuk membicarakan masalah degradasi ekosistem hutan yang langsung berbatasan dengan desa masing-masing. Pertemuan-pertemuan selanjutnya, yang disebut dengan Pertemuan Masyarakat Adat Lombok Utara semakin banyak melibatkan para tokoh desa adat, tidak secara khusus berbicara tentang masalah degradasi lingkungan tetapi pengembangan wacana revitalisasi adat budaya sebagai upaya penggalangan solidaritas masyarakat dan mencari solusi untuk menangani masalah-masalah kemasyarakatan yang ada di Lombok utara. Dengan adanya peluang dan semangat otonomi daerah (UU Otonomi Daerah 22/1999) bergulir dan semakin marak penghimpunan diri 25 komunitas desa dalam wadah Persekutuan yang bersendikan institusi dan pranata lokal yang disepakati dalam sebuah kesepakata bersama antar komunitas desa atau yang dikenal dengan Dekrit 5 Juli 2000.
Salah satu isi Dekrit yang dihasilkan adalah berhubungan dengan pengelolaan wilayah hutan, yaitu pengawasan hutan tidak perlu dengan kehadiran jagawana tetap diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat dibawah pemangku alas dan dikawal oleh lang-lang (pam swakarsa). Dinamika dan geliat dari Perekat Ombara ini melahirkan gagasan dan wacana baru tentang pembentukan kabupaten Lombok Utara. Selama ini wilayah Lombok bagian utara merupakan bagian dari kabupaten Lombok Barat, dengan ibukota di Mataram. Dengan adanya perubahan situasi dan kondisi politik, dimungkinkan pemekaran
kabupaten baru yang terpisah dari kabupaten induknya. Wacana ini sekarang sedang marak berkembang di Perekat Ombara dan berbagai organisasi kemasyarakatan lain yang ada di Lombok Utara. (Rizky R. Sigit. 2001. Telapak. Studi kasus dalam rangka Pengkajian Program Hibah Kecil Global Environmental Facility - GEF/SGP).
Di Kalimantan Barat, misalnya, PPSHK (SHK Kalbar) dan EAF (Ethno-Agro Forest) menemukan masih banyak kampung orang Dayak yang masih memiliki dan mempertahankan keaslian hutan keramat. Keteguhan keyakinan masyarakat adat atas kekeramatan hutan merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk mengendalikan dan bahkan menghentikan kerusakan hutan sebagaimana dilakukan oleh komunitas adat di Kampung Pendaun, Kabupaten Ketapang. Masyarakat adat di kampung ini tidak hanya gigih mempertahankan hutan keramat dari kegiatan penebangan hutan oleh perusahaan resmi, tetapi juga dari para penebang liar.
C. Menghentikan Penebangan Liar dengan Menegakkan Hukum Adat Kehutanan
Dari zaman dulu sampai 20 tahun yang lalu, keadaan hutan di Kecamatan Simpakng Hulu masih utuh, keadaan sosial-budaya masih kuat, air sungai belum tercemar, masyarakat masih arif dalam megelola sumber daya hutan dan kebutuhan hidup sehari-hari kala itu masih mudah diperoleh. Tahun tujuh puluhan HPH mulai beroperasi di Kecamatan Simpakng Hulu, yang membuka jalan, yang mengakibatkan banyaknya orang luar masuk. Akibatnya hutan menjadi rusak, sungai mulai tercemar, hak-hak masyarakat adat dirampas, adat-budaya
masyarakat lokal luntur. Tahun delapan puluhan mulai masuk banyak rombongan penebang kayu ilegal dari luar.
Pada tahun 1997 PT Wahana Stagen Lestari (WSL), sebagai kontraktor PT Inhutani II, melanggar kawasan Tonah Colap Turun Pusaka (atau hutan lindung ala masyarakat adat yang luasnya 782 ha). Dari pelanggaran tersebut maka WSL di hukum secara adat oleh masyarakat Pendaun. Setelah di hukum adat WSL berhenti operasi di Tonah Colap. Ternyata dengan terhentinya operasi WSL penebangan hutan masih berlanjut. Dengan terbukanya jalan ke Tonah Colap Torun Pusaka, semakin banyak penebangan liar (illegal). Sekitar dua puluhan truk pengangkut kayu haram per hari beroperasi di Kampung Pendaun.
Sadar ada kerusakan hutan, masyarakat adat mengadakan pertemuan-pertemuan serta lokakarya yang intinya untuk pengukuhan kembali terhadap Tonah Colap Torun Pusaka yang meliputi kegiatan seperti: (1) inventarisasi partisipatif, dan (2) perintisan kawasan Tonah Colap Torun Pusaka. Ini dua langkah langkah untuk mencapai cita-cita masyarakat selanjutnya untuk menghentikan seluruh kegiatan yang merusak hutan.
Hasil dari seluruh kesempakatan pertemuan akhirnya di lakukanlah sumpah Tonah Colap Torun Pusaka, sekaligus mendirikan balai pabantatn (atau keramat) di Bukit Binakng. Setelah perintisan dan pendirian keramat, penebangan liar (ilegal) berhenti. Rombongan pekerja kayu liar (illegal) yang bekerja di sekitar kawasan Tonah Colap pun di hukum adat. Penghukuman terhadap perusahaan dan pembuatan Tanah Colap Torun Pusaka oleh masyarakat adat
Pendaun maka mengundang reaksi positif masyarakat adat di daerah sekitarnya untuk melakukan hal yang sama. Satu tahun terakhir ini banyak kampung-kampung masyarakat adat di kawasan Simpakng Hulu di Kabupaten Ketapang mendirikan dan mengukuhkan kembali hutan keramat Tanah Colap Torun Pusaka sebagai basis spritual untuk penegakan hukum adat bagi para penebang liar, baik dari masyarakat adat sendiri maupun dari pihak-pihak luar. (Jakobus Akon, seorang warga masyarakat adat Kampung Pendaun, dipresentasikan pada Ministrial Conference on Forest Law Enforcement and Governance, FLEG, di Denpasar, Bali, 11-13 September 2001).
D. Pranata Adat sebagai Kekuatan Utama Penjaga Hutan
Banyak di antara komunitas-komunitas masyarakat adat terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sendiri sebagai komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan seluruh mahluk hidup lainnya. Dibandingkan dengan pihak-pihak berkepentingan lain, masyarakat adat mempunyai motif yang paling kuat untuk melindungi hutan adatnya. Bagi masyarakat adat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, menjaga hutan dari kerusakan merupakan bagian paling penting mempertahankan keberlanjutan kelangsungan kehidupan mereka sebagai komunitas adat. Motivasi ini didasari pada dua hal. Pertama adalah keyakinan atas hak-hak asal usul yang diwarisi dari leluhur. Masyarakat adat berbeda dari kelompok masyarakat yang lain, bukan semata-mata karena mereka rentan terhadap intervensi/hegemoni luar, tetapi karena mereka memiliki hak asal usul atau hak tradisional.
Mempertahankan hutan adat bukan sekedar tindakan konservasi tetapi merupakan tindakan mempertahankan hak adat/hak asal usul/hak tradisional mereka. Kedua, di samping untuk memtahankan hak, masyarakat adat juga menyadari posisinya sebagai penerima insentif yang paling besar jika hutan adatnya utuh dan terpelihara dengan baik. Sebagai penduduk yang sebagian besar kehidupannya tergantung dengan hutan adat, hutan adat yang lestari akan menjamin ketersediaan pangan, ramuan obat-obatan, air bersih, bahan bangunan dan kebutuhan primer lain bagi masyarakat adat. Bagi masyarakat adat yang kehidupannya sudah terintegrasi dengan ekonomi uang, hutan adat merupakan sumber berbagai jenis hasil hutan, baik berupa kayu maupun non kayu, yang bernilai jual tinggi untuk mendapatkan uang membiayai kebutuhan-kebutuhannya seperti menyekolahkan anak-anaknya, membayar pajak, membeli alat transportasi yang lebih cepat, membeli televisi, dan kebutuhan lain yang tidak bisa diproduksi sendiri. Di banyak komunitas masyarakat adat, hutan adat juga sangat penting dalam kehidupan budaya dan religi asli. Sebaliknya jika terjadi pengrusakan terhadap hutan adat, baik oleh mereka sendiri maupun oleh pihak-pihak luar, maka masyarakat adat akan menjadi korban yang paling menderita.
Berbagai penelitian juga telah membuktikan bahwa masyarakat adat memiliki sistem pengetahuan asli yang arif dalam pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan atas sumberdaya hutan di wilayah adatnya. Sistem pengetahuan asli ini merupakan landasan bagi keberadaan cara-cara pengelolaan sumberdaya hutan dan hukum adat kehutanan yang khas dan berbeda satu sama lain di antara komunitas-komunitas adat.
Masyarakat adat memiliki hukum adat untuk ditegakkan jika terjadi perbuatan-perbuatan yang bisa menyebabkan kerusakahan terhadap hutan adat. Sebagian dari hukum adat ini sudah melemah dan mengalami kekaburan sehingga perlu direvitalisasi dan diperkuat.
Masyarakat adat memiliki kelembagaan adat untuk mengatur, menata, memperkuat dan menjaga berlangsungnya keharmonisan interaksi antara masyarakat adat dengan ekosistem hutan di sekitarnya.
Dengan berbagai pranata adat yang masih dimiliki masyarakat adat ini, mereka memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan rehabilitasi dan memulihkan kerusakan hutan di areal-areal bekas konsesi HPH dan lahan-lahan hutan kritis (community-based reforestation and rehabilitation) dengan pohon-pohon jenis asli komersial. Dengan pengayaan (enrichment) terhadap pranata adat untuk pencapaian tujuan-tujuan ekonomis, komunitas masyarakat adat mampu mengelola usaha ekonomi komersial berbasis sumberdaya hutan yang ada di wilayah adatnya (community logging/portable sawmill, community forestry, credit union, dsb.) untuk mengatur dan mengendalikan "illegal logging" yang dimodali oleh cukong-cukong kayu, mengurangi "clear cutting" legal dengan IPK untuk tujuan konversi hutan, dan mencegah penebangan hutan resmi yang merusak hutan dan menindas masyarakat adat seperti IHPHH.

KESIMPULAN
 Dengan berbagai pranata adat yang masih dimiliki masyarakat adat, ini merupakan suatu kemampuan yang memadai untuk melakukan rehabilitasi dan pemulihan kerusakan hutan di areal-areal bekas konsesi HPH.
 Proses mendapatkan pengakuan dan perlindungan secara hukum (mandatory) bagi hak-hak masyarakat adat atas hutan adat secara nasional membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu diperlukan skema yang sifatnya sukarela (voluntary) agar prakarsa-prakarsa masyarakat adat dalam perlindungan hutannya dan pemberantasan penebangan liar di wilayah adatnya mendapatkan insentif dari berbagai pihak pendukung, termasuk dari pemerintah.
 Hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya. Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sehingga pengelolaannya dapat terjaga dan terkendali kelestarian hutan dan kesejahteraan serta keberlangsungan hidup dapat dirasakan oleh masyarakat tersebut.

Senin, 14 November 2016

Gambar Panorama Pulau Buton Negeri Seribu Benteng: Pantai Katembe ini berada di Buton, tepatnya di De...

Gambar Panorama Pulau Buton Negeri Seribu Benteng: Pantai Katembe ini berada di Buton, tepatnya di De...: Pantai Katembe ini berada di Buton, tepatnya di Desa Madongka_Buton Tengah ini memiliki bentangan hamparan pasir sepanjang lebih dari 1 k...
Pantai Katembe ini berada di Buton, tepatnya di Desa Madongka_Buton Tengah ini memiliki bentangan hamparan pasir sepanjang lebih dari 1 kilometer.

Pantai Katembe dan Putri Duyung (Wandiu diu) di Buton

Cerita rakyat mengenai Putri duyung pertama kali muncul di Suriah pada tahun 1000 SM yang merupakan Ibu dari Ratu Assria, Semiramis bernama Dewi Atargatis yang mencintai lelaki gembala miskin. Lelaki gembala yang malang itu kemudian didapatinya mati terbunuh oleh sebab hubungan yang tidak lazim yang katanya menentang adat.
Dewi Atargatis merasa terpukul dan sangat malu atas diketahuinya hubungan mereka yang membawa kematian kekasihnya itu. Iapun lari meninggalkan gemerlap megah istana dan mencebur diri ke telaga berlumpur sembari berharap dirinya berubah menjelma menjadi ikan saja karena besarnya malu dan rasa bersalahnya itu.
Tetapi air telaga itu tampaknya segan melihat pesona kecantikan sang Dewi Atargatis, dan kenudian berenanglah sang Dewi mengelilingi telaga, menjelmalah ia ikan sebagaimana harapannya, tetapi hanya setengah badannya saja. Kedua kakinya bersatu menjadi ekor dengan sisik berkilau sampai pinggulnya. Muka cantik dan mulus montok dadanya telanjang bersih tak terkenai sisik.
Ada juga dongeng serupa di kampung kami, di tahah Buton. Dongeng yang berkisah mengenai manusia yang menjelma menjadi ikan duyung. Dongeng itu adalah dongeng Si Puteri Duyung atau di kampung kami dikenal sebagai Wandiu-Diu. Wandiu-Diu itu adalah perempuan berparas cantik nan jelita dengan dua anak, yang kedua anaknya itu adalah lelaki. Anaknya yang sulung dinamainya Lacurungkoleo dan si bungsu dinamainya Lambata-Mbata. Yang karena ada masalah dan tidak sanggup menerima pukulan dan siksaan dari sang suami ia melarikan diri dan menceburkan tubuhnya ke dalam lautan, dan disitulah awal mula berubahnya ia menjadi Putri Duyung.

Uniknya Pantai Katembe ini berwarna Pink, entah mengapa sampai berwarna pink. Mungkin warna itu disebabkan oleh jenis tumbuhan  atau satwa tertentu di dasar lautan atau mungkin pengaruh sinar matahari yang menyinari pantai, tidak ada yang mengetahuinya kenapa berwarna pink pantai/pasir ini.

Aksesibilitas
Pantai Katembe ini belum terekspos oleh wisatawan, untuk ke Pantai ini anda dapat menggunakan transportasi laut yaitu kapal Ferry dari Kota Baubau menuju Gu/Lombe. kisaran biaya transportasi sekitar 50 ribu/orang sudah sampai di pantai ini yang bagai surga.
Ayo berkunjung ke Buton.............

Pantai Katembe di Buton dengan Pantai berwarna Pink

Pantai Katembe ini berada di Buton, tepatnya di Desa Madongka_Buton Tengah ini memiliki bentangan hamparan pasir sepanjang lebih dari 1 kilometer.

Pantai Katembe dan Putri Duyung (Wandiu diu) di Buton

Cerita rakyat mengenai Putri duyung pertama kali muncul di Suriah pada tahun 1000 SM yang merupakan Ibu dari Ratu Assria, Semiramis bernama Dewi Atargatis yang mencintai lelaki gembala miskin. Lelaki gembala yang malang itu kemudian didapatinya mati terbunuh oleh sebab hubungan yang tidak lazim yang katanya menentang adat.
Dewi Atargatis merasa terpukul dan sangat malu atas diketahuinya hubungan mereka yang membawa kematian kekasihnya itu. Iapun lari meninggalkan gemerlap megah istana dan mencebur diri ke telaga berlumpur sembari berharap dirinya berubah menjelma menjadi ikan saja karena besarnya malu dan rasa bersalahnya itu.
Tetapi air telaga itu tampaknya segan melihat pesona kecantikan sang Dewi Atargatis, dan kenudian berenanglah sang Dewi mengelilingi telaga, menjelmalah ia ikan sebagaimana harapannya, tetapi hanya setengah badannya saja. Kedua kakinya bersatu menjadi ekor dengan sisik berkilau sampai pinggulnya. Muka cantik dan mulus montok dadanya telanjang bersih tak terkenai sisik.
Ada juga dongeng serupa di kampung kami, di tahah Buton. Dongeng yang berkisah mengenai manusia yang menjelma menjadi ikan duyung. Dongeng itu adalah dongeng Si Puteri Duyung atau di kampung kami dikenal sebagai Wandiu-Diu. Wandiu-Diu itu adalah perempuan berparas cantik nan jelita dengan dua anak, yang kedua anaknya itu adalah lelaki. Anaknya yang sulung dinamainya Lacurungkoleo dan si bungsu dinamainya Lambata-Mbata. Yang karena ada masalah dan tidak sanggup menerima pukulan dan siksaan dari sang suami ia melarikan diri dan menceburkan tubuhnya ke dalam lautan, dan disitulah awal mula berubahnya ia menjadi Putri Duyung.

Uniknya Pantai Katembe ini berwarna Pink, entah mengapa sampai berwarna pink. Mungkin warna itu disebabkan oleh jenis tumbuhan  atau satwa tertentu di dasar lautan atau mungkin pengaruh sinar matahari yang menyinari pantai, tidak ada yang mengetahuinya kenapa berwarna pink pantai/pasir ini.

Aksesibilitas
Pantai Katembe ini belum terekspos oleh wisatawan, untuk ke Pantai ini anda dapat menggunakan transportasi laut yaitu kapal Ferry dari Kota Baubau menuju Gu/Lombe. kisaran biaya transportasi sekitar 50 ribu/orang sudah sampai di pantai ini yang bagai surga.
Ayo berkunjung ke Buton.............

Pohon Loreng yang Bagai Pelangi dalam Kawasan Hutan Lindung_Pulau Buton

Pohon berbatang aneh ini tumbuh di hutan lindung Kelurahan Wakonti, Kota Baubau Pulau Buton. Warga masyarakat di sekitar Taman Wisata Alam ini menganggap aneh pohon ini karena seluruh batang hingga dahannya dihinggapi aneka warna. Batang  menyerupai baju loreng militer yang pada akhirnya disebutlah pohon loreng oleh warga setempat.


Pohon loreng masuk dalam spesies Eucalyptus, yang lebih dikenal dengan pohon Leda (Eucalyptus Deglupta), tinggi pohon bisa mencapai 60 meter. Kayu ini sudah banyak dibudidayakan karena memiliki kualitas kayu yang baik dan tergolong dalam kayu yang cepat tumbuh. Leda (Eucalyptus Deglupta) tumbuh baik pada dataran rendah, daerah rawa atau dekat sungai.
Pohon loreng yang ditemukan di Wakonti ini terdapat dalam kawasan hutan lindung yang selalu dipantau oleh pihak Resort Kota Baubau dibawah Balai Konservasi Sumber daya Alam Hayati Seksi Konservasi Wilayah I Baubau.

Pohon Loreng yang Bagai Pelangi dalam Kawasan Hutan Lindung_Pulau Buton

Pohon berbatang aneh ini tumbuh di hutan lindung Wakonti, Kota Baubau Pulau Buton. Warga masyarakat di sekitar Taman Wisata Alam ini menganggap aneh pohon ini karena seluruh batang hingga dahannya dihinggapi aneka warna. Batang  menyerupai baju loreng militer yang pada akhirnya disebutlah pohon loreng oleh warga setempat.


Pohon loreng masuk dalam spesies Eucalyptus, yang lebih dikenal dengan pohon Leda (Eucalyptus Deglupta), tinggi pohon bisa mencapai 60 meter. Kayu ini sudah banyak dibudidayakan karena memiliki kualitas kayu yang baik dan tergolong dalam kayu yang cepat tumbuh. Leda (Eucalyptus Deglupta) tumbuh baik pada dataran rendah, daerah rawa atau dekat sungai.
Pohon loreng yang ditemukan di Wakonti ini terdapat dalam kawasan hutan lindung yang selalu dipantau oleh pihak Resort Kota Baubau dibawah Balai Konservasi Sumber daya Alam Hayati Seksi Konservasi Wilayah I Baubau.

Pohon Loreng yang Bagai Pelangi dalam Kawasan Hutan Lindung_Pulau Buton

Pohon berbatang aneh ini tumbuh di hutan lindung Kelurahan Wakonti, Kota Baubau Pulau Buton. Warga masyarakat di sekitar Taman Wisata Alam ini menganggap aneh pohon ini karena seluruh batang hingga dahannya dihinggapi aneka warna. Batang  menyerupai baju loreng militer yang pada akhirnya disebutlah pohon loreng oleh warga setempat.


Pohon loreng masuk dalam spesies Eucalyptus, yang lebih dikenal dengan pohon Leda (Eucalyptus Deglupta), tinggi pohon bisa mencapai 60 meter. Kayu ini sudah banyak dibudidayakan karena memiliki kualitas kayu yang baik dan tergolong dalam kayu yang cepat tumbuh. Leda (Eucalyptus Deglupta) tumbuh baik pada dataran rendah, daerah rawa atau dekat sungai.
Pohon loreng yang ditemukan di Wakonti ini terdapat dalam kawasan hutan lindung yang selalu dipantau oleh pihak Resort Kota Baubau dibawah Balai Konservasi Sumber daya Alam Hayati Seksi Konservasi Wilayah I Baubau.

reseptugasmakalahlaporan: MAKALAH SOSIOLOGI KEHUTANANHAK MASYARAKAT ADAT DA...

reseptugasmakalahlaporan: MAKALAH SOSIOLOGI KEHUTANAN
HAK MASYARAKAT ADAT DA...
: MAKALAH SOSIOLOGI KEHUTANAN HAK MASYARAKAT ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN DAN SUMBER DAYA HUTAN Oleh : LA ODE ZAINAL ABIDIN RZ D1 B5 05 0...

Gambar Panorama Pulau Buton Negeri Seribu Benteng: Pelepasan Ikan Napoleon

Gambar Panorama Pulau Buton Negeri Seribu Benteng: Pelepasan Ikan Napoleon: Ikan ini bernama napoleon atau lebih dikenal dengan  Napoleon Wrasse . Ikan Napoleon ( Cheilunus undulatus )  adalah salah satu ikan kara...

Kande-kandea Tradisi Buton yang ada sejak Kesultanan Buton



Gadis cantik berkostum adat Buton, duduk di depan talam yang ditutup tudung saji berhias, berisi aneka makanan tradisional, gadis-gadis itu sibuk melayani tamu, menyuapinya bak seorang ibu yang sedang memberi makan anaknya, diiringi suara tetabuhan dan gong.


Pemandangan tersebut bagian dari pesta rakyat, ritual pekande-kandea (pesta makan) yang berlangsung di Tolandona, Kecamatan Sangia Wambulu, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra), Jumat (1/8). Ribuan orang berkumpul di sebuah lapangan dalam dandanan khas ala pesta, mereka duduk saling berhadapan di depan jejeran talam yang ditutupi tudung saji.


Pekande-kandea ini tidak bisa hilang dari kebiasaan masyarakat Buton, ini dilaksanakan setiap bulan Syawal, tujuh hari setelah merayakan Hari Raya Idul Fitri, sebagai tanda kesyukuran kepada Allah setelah sebulan penuh melaksanakan ibadah Ramadhan dan berharap bisa bertemu dengan Ramadhan di tahun berikutnya demikian ungkapan tokoh adat dari lingkungan Keraton Buton.

Pengunjung yang ikut dalam ritual pekande-kandea bisa menikmati berbagai jenis makanan khas, misalnya lepat, ketupat, buras, opor ayam, sate panggang, ayam goreng, ikan bakar rica-rica dan berbagai penganan tradisional masyarakat Buton tanpa membayar, pengunjung tinggal memilih jenis yang diinginkan dan gadis-gadis penunggu talam siap melayani, bahkan menyuapi, setelah itu pengunjung cukup memberi tip jasa pelayanan sebagaimana tanda terima kasih kepada gadis penunggu talang yang melayani, jumlahnya tergantung kerelaan pengunjung. asikkan???


Kande-kandea Tradisi Buton yang ada sejak Kesultanan Buton



Gadis cantik berkostum adat Buton, duduk di depan talam yang ditutup tudung saji berhias, berisi aneka makanan tradisional, gadis-gadis itu sibuk melayani tamu, menyuapinya bak seorang ibu yang sedang memberi makan anaknya, diiringi suara tetabuhan dan gong.


Pemandangan tersebut bagian dari pesta rakyat, ritual pekande-kandea (pesta makan) yang berlangsung di Tolandona, Kecamatan Sangia Wambulu, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra), Jumat (1/8). Ribuan orang berkumpul di sebuah lapangan dalam dandanan khas ala pesta, mereka duduk saling berhadapan di depan jejeran talam yang ditutupi tudung saji.


Pekande-kandea ini tidak bisa hilang dari kebiasaan masyarakat Buton, ini dilaksanakan setiap bulan Syawal, tujuh hari setelah merayakan Hari Raya Idul Fitri, sebagai tanda kesyukuran kepada Allah setelah sebulan penuh melaksanakan ibadah Ramadhan dan berharap bisa bertemu dengan Ramadhan di tahun berikutnya demikian ungkapan tokoh adat dari lingkungan Keraton Buton.

Pengunjung yang ikut dalam ritual pekande-kandea bisa menikmati berbagai jenis makanan khas, misalnya lepat, ketupat, buras, opor ayam, sate panggang, ayam goreng, ikan bakar rica-rica dan berbagai penganan tradisional masyarakat Buton tanpa membayar, pengunjung tinggal memilih jenis yang diinginkan dan gadis-gadis penunggu talam siap melayani, bahkan menyuapi, setelah itu pengunjung cukup memberi tip jasa pelayanan sebagaimana tanda terima kasih kepada gadis penunggu talang yang melayani, jumlahnya tergantung kerelaan pengunjung. asikkan???


Indahnya Malam di Pulau Buton_Ayo Berkunjung ke Pulau Buton










Pesona Wisata Pantai Pulau Buton





Ikan Duyung Tertangkap Sero Nelayan Buton

Ikan duyung (Dugong dugon)yang ditemukan di perairan Pulau Buton_Indonesia,tepatnya di Kecamatan Lasalimu Selatan Kabupaten Buton. Menurut cerita warga setempat,konon tiap tahun pasti ditemukan terdampar atau melintas di Perairan tersebut,bagi turis lokal maupun mancanegara yang mau melihat dan menyaksikan ikan duyung secara langsung ada baiknya mengunjungi daerah ini antara bulan April hingga Juni.


Beberapa jenis ekosistem laut yang hampir punah antara lain Dugong dugon atau yang kita kenal dengan nama ikan duyung. Menurut beberapa pendapat ahli peneliti diwilayah barat menyebutkan bahwa pola Migrasi atau Ruaya ikan duyung (Dugong dugon) berpeluang besar terjadi di wilayah timur Indonesia, namun saat ini habitatnya sudah semakin berkurang.  Migrasi atau Ruaya yang kita kenal dengan istilah perpindahan dari suatu tempat ketempat lain dengan tujuan mencari tempat yang lebih baik, hal inilah yang di asumsikan bahwa hewan mamalia (ikan duyung) bermigrasi atau beruaya di wilayah perairan Kecamatan Lasalimu untuk mencari tempat yang lebih baik.  Ikan duyung (Dugong dugon) cenderung melakukan Migrasi atau Ruaya untuk mencari tempat sumber makanan, tempat perlindungan dan berkembangbiak.